Rubah Kebiasaanmu!
Sahabat seiman Khazanah Cinta Senandung Ukhuwah, Hidup adalah pilihan. Apa yang ingin dan tidak ingin kita kerjakan,
kembali kepada keputusan kita; baik buruknya, pantas tidaknya, dan
untung ruginya. Namun yang sering kita lupa, bahwa nilai diri dan hidup
kita, sebenarnya, adalah akumulasi dari berbagi pilihan itu.
Terkadang kita tidak menyadari bahwa proses yang akumulatif itu
sering menyajikan fakta-fakta mengejutkan. Bahwa hal yang tampak sepele
dalam sekali pelaksanaannya, menjadi sangat berarti dalam pengulangannya
sekian tahun ke depan. Baik maupun buruk. Hal yang sering membuat kita
terkejut-kejut.
Membaca al-Qur’an beberapa ayat sehari bisa tampak sangat remeh, tapi tidak jika terakumulasi dalam sekian tahun. Sebatang rokok yang kita hisap setiap hari, jelas akan sangat memengaruhi kesehatan kita dalam beberapa tahun di muka. Bukankah tidak menjadi kecil, dosa-dosa yang dibiasakan, meski tampak sepele?
Kita faham bahwa kebiasaan menunda-nunda, berkomunikasi secara buruk,
lebih suka bicara daripada mendengar, sibuk bekerja hingga waktu untuk
keluarga sempit, egois dan banyak lagi yang lain adalah hal yang buruk?
Tapi mengapaa banyak di antara kita yang masih saja membiasakannya?
Hingga kita sangat menghajatkan pendidikan untuk hal-hal yang bahkan
sudah jelas.
Maka, cerdas memilih kebiasaan harian, kemudian berusaha istiqamah
dalam pilihan itu adalah prestasi tersendiri yang tidak bisa diremehkan.
Selain karena kita memang jarang merenung untuk berfikir tentang masa
depan, juga karena kita sering tidak berdaya untuk mengubah kebiasaan
buruk, meski kita tahu akibat yang akan timbul, karena sudah mengakar
kuat dalam perilaku keseharian kita. Rasulullah menyatakan bahwa hamba
yang cerdas adalah dia yang bisa mengendalikan nafsu dan bisa beramal
untuk hidup sesudah mati.
Artinya, kita bisa kehilangan kecerdasan jika tidak mengontrol
keinginan nafsu. Hanyut dalam kenikmatan instan yang disajikan, hingga
bersikap masa bodoh tentang berbagai kemungkinan buruk di masa
mendatang. Atau kita hanya berfikir hari ini, dunia ini, dan lupa bahwa
ada akhirat yang menjadi hari pertanggungan jawab.
Maka, menjadikan muhasabah atau instropeksi diri sebagai kebiasaan
akan menjamin kita berada dalam jalur kebaikan. Kemudian melakukan
kebiasaan baik dan tekun melaziminya meski tampak sulit. Kelak, dalam
rentang waktu yang lama, kita akan memanen hasilnya dengan manis. Karena
apa yang kita biasakan akan menjadi akhlak kita. Akan membentuk
integritas diri kita.
Kebiasaan menjadi 90 % perilaku normal kita. Sesuatu yang sering kita
perbuat hingga menjadi mudah, dan memberi perasaan nyaman karena kita
lakukan tanpa perlu pemikiran yang mendalam. Ia berjalan secara mekanik,
menggambarkan diri kita dari sisi lahiriahnya. Bagaimana kita bangun
tidur, berpakaian, sarapan, menyapa, menggosok gigi, menata meja,
menyelesaikan masalah, bersikap di dalam rapat dan ratusan bahkan
ribuaan perilaku kita yang lain, adalah buah dari apa yang kita putuskan
untuk kita biasakan.
Di sisi lain, meski membuat perasaan kita nyaman, sebuah rutinitas
yang terlalu banyak, bisa menjebak kita kepada rasa puas diri yang
berujung kepada kebosanan. Seringkali dengan keadaan standar yang
menghambat keluarnya potensi diri yang sebenarnya. Karena kita menjadi
malas dan miskin berkreasi, terlanjur nyaman dengan apa yang sudah ada.
Tapi, bagaimana jika banyak dari kebiasaan kita adalah hal yang
buruk, bahkan ia bisa memengaruhi orang-orang lain di sekitar kita?
Karena sebagai suami, apa yang kita kerjakan dan biasakan, apalagi ia
buruk adanya, tentu sedikit banyak akan berpengaruh kepada anak-anak dan
istri-istri kita. Sedang banyak di antara kita yang enggan untuk
merubahnya. Memang sulit jika dibayangkan, namun insyallah mudah jika
kita memiliki tekad yang kuat dan komitmen yang tinggi.
Al-jazaa’ min jinsi al-‘amal, balasan akan sebanding dengan kerja,
begitu kira-kira. Sebuah sunatullah yang harus kita yakini agar kita
memiliki tekad yang kuat untuk berubah. Karena kita ingin memanen hasil
yang baik, dan takut mendapat akibat yang buruk. Dan itu ditentukan oleh
apa yang akhirnya lakukan. Juga konsistensi kita dalam pengerjaannya.
Konsistensi penuh dan sungguh-sungguh untuk hasil yang maksimal.
Tidak bisa setengah-setengah apalagi apa adanya. Karena jika kita
mendapat tekanan dan stres, sangat mungkin kita akan kecewa, putus asa,
hingga akhirnya kembali kepada kebiasaan lama. Untuk kemudian semuanya
menjadi sia-sia. Maka kita harus fokus, disiplin dan kuat.
Secara umum, sebuah kebiasaan baru membutuhkan waktu sekitar 3-4
minggu agar menjadi mudah bagi kita. Meski ia juga tergantung pada
kedalaman sebuah kebiasaan buruk yang sudah mengakar di dalam diri kita.
Semakin lama ia sudah menjadi bagian dari kebiasaan kita, semakin sulit
upaya untuk merubahnya meski bukan berarti tidak bisa.
Untuk itu, selain menguatkan akidah dan mempertajam ilmu tentang
tujuan hidup agar kita memiliki tekad yang kuat untuk berubah menjadi
lebih baik, dukungan orang-orang sekitar, terutama keluarga sangat
dibutuhkan. Para pendukung yang tulus, sebab mereka mengharapkan kita,
suami dan ayah mereka, menjadi yang terbaik sebagai imam mereka.
Iman akan membimbing kita kepada cita-cita hidup yang tinggi,
memampukan kita menjalani kesulitan dan penderitaan sebab harapan
kemuliaan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat telah terpatri
dengan kuat di dalam dada.
Kita ingin menjadi hamba Allah yang baik, dan itu dimulai dari
hal-hal baik yang kita yakini, ucapkan, serta biasakan dalam
pengamalannya. Allah tidak akan merubah kita jika kita tidak merubah
diri kita sendiri. Tapi, mulai kapan kita bersungguh-sungguh untuk
memulainya?
(kcsu team)